• Negeri Besar ini, INDONESIA

    "Fira - bukan nama sebenarnya - kesini yank hari sabtu, mau tes di Polixxx."
    "Hm, apa sih yang dia kejar ay?"
    "Dia maunya jadi teladan buat adik-adiknya, kan dia sulung"
    "Menurutku kok buang-buang waktu ya? Mengejar sesuatu yang belum tentu terbaik buat dia"
    "Ya kan semua orangtua ingin anaknya mapan ay"
    "Tunggu dulu, tahun sebelumnya dia daftar jurusan apa? Sekarang mau daftar apa?"
    "Belum tau ay, sebelumnya dia berat ke sekolah ikatan dinas itu, tapi ga diterima"
    "Nah itu maksudku. Tidak ada di dunia ini ay, manusia bisa memapankan manusia. Kecuali dengan kekuasaan, jabatan, uang."
    "Ya ga taulah ay, ibunya kepinginnya begitu"
    "Okelah"
    -----------------------------------------------------
    "Minta tolong dicetakkan ini ya?"
    "Maaf, apa ya?"
    "Rekomendasi mbak"
    Doing fast scan, ow ow, hmmmm
    "Sudah pak, monggo"
    -----------------------------------------------------
    Sepagi ini, apa yang baru saja kudiskusikan dengan suami, terbukti. Mungkin ini baru 1 contoh. Tapi di sekeliling kita, banyak banget kita temui kasus-kasus seperti ini. Ya, kasus. Ini masalah mental.

    Memerhatikan sekeliling, lebih banyak terjadi, anak bersekolah karena obsesi orangtua. Harus di sekolah unggulan, harus masuk akselerasi, harus ikatan dinas, demi persaingan, untuk masa depan.

    Menimba ilmu di sekolah unggulan itu tidak salah, asal anak mau dan mampu.
    Masuk akselerasi juga boleh, karena beberapa anak memang begitu haus akan ilmu dan lebih cepat menyerapnya dibanding teman-teman seumuran.
    Sekolah dengan ikatan dinas juga good choice kok untuk anak-anak yang memang sudah tau betul ingin jadi apa sesuai minat dan kemampuannya.
    Yang salah itu jika, anak tidak mau dan atau anak tidak mampu dan atau anak masih bingung, tapi dipaksa mengikuti pilihan orangtuanya. Yang sekolah anak apa ortunya?

    Memilih sekolah itu memang tidak instan, asal ngikutin tren, menuhin cita-cita orangtua yang dulu ga tercapai jadi sekarang dibebankan ke anak. Tapi, memilih sekolah itu observasi jangka panjang. Memantau interest anak sedari kecil, apa yang dia suka, perubahan dan perkembangan cita-citanya, nilai-nilai pelajarannya yang menonjol. Baru orangtua punya gambaran anak ini akan lebih berkembang dengan model sekolah seperti apa. Ini tentang sinergi supaya minat dan bakat anak terfasilitasi dengan tepat.

    Pendidikan itu, menurut UU adalah untuk setiap warga negara. Lalu kenapa pendidikan itu cenderung mahal?
    Masa sekolah dasar, wajib belajar 9 tahun. SPP dihapus oleh pemerintah, tapi yang terjadi adalah masih banyak pungutan sana-sini atas nama otonomi.
    Di sekolah menengah, baik yang masuk dengan nilai UN maupun dengan tes, masih sering kita dengar ada titipan. Tidak masuk di kelas 10 ya jadi murid pindahan saja di kelas berikutnya. Yang penting khan ijazah dari sekolah favorit meski harus beli kursi sendiri?
    Masa kuliah. Sudah jadi rahasia umum bahwa kuota untuk tes masuk murni lebih kecil dari jalur lain yang bayarnya lebih mahal. Itupun masih ditikung oleh anak-anak pejabat, orang kaya yang ngebeli kursi pendidikan atas nama kekuasaan dan gengsi. Lalu dimanakah kesejatian pendidikan kalau mau sekolah saja pake suap sana sini?

    Parah sekali bangsa ini. Tidak heran banyak pengangguran meski banyak sarjana. Lantas muncul pembias, itu yang drop out, yang ga sekolah lebih sukses dari yang sekolah. OMG, so not enlightening! Bukan sarjananya, sekolahnya, apalagi perkara takdir kawan, tapi daya saing yang tidak baik. Tidak kaget juga produktivitas negeri ini masih rendah. Cenderung konsumtif bahkan. Produk-produk salah pilih sekolah, salah cara masuk sekolah, bahkan asal pilih sekolah, ngarep mau jadi orang besar? Yang berguna demi bangsa, negara, agama? Just a bullshit. Ini semua salah siapa? Pemerintah? Yang membuat kebijakan otonomi pendidikan? Yang merekrut pejabat-pejabat culas, menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi? Salah para guru yang notabene lebih vokal menyuarakan tunjangannya daripada meningkatkan kompetensinya demi mendidik anak bangsa? Atau sebenarnya salah kita, para orangtua yang 'gagal' menjadi orangtua lalu memilih melempar tanggungjawab pendidikan ke sekolah saja?

    Pendidikan ini hal besar, ukurannya memang bukan semata nilai. Melainkan dampak pendidikan itu terhadap kehidupan. Lantas apa nilai tidak penting? Nilai itu ada untuk menjadi acuan. Jadi ukuran ketercapaian, jika nilai itu diperoleh dengan cara jujur, dengan kesungguhan. Nilai yang seperti itu akan menunjukkan daya saing kita. Tidak semua yang memiliki nilai tinggi memang pintar dan mampu. Tapi nilai itu awal untuk mengenal kemampuan. Berikutnya adalah proses, yang akan memunculkan kesejatian diri. Akan tampak dengan sendirinya pencari ilmu yang sebenarnya dengan pengejar nilai saja. Tentunya orangtua harus paham betul ini. Supaya tidak serta merta menuntut nilai saja tanpa peduli prosesnya. Karena nilai itu terbawa beserta cara mendapatkannya. Anak-anak yang terbiasa berjuang dengan jujur dan kesungguhan. Selain mendapat nilai cemerlang, mereka akan menjadi manusia sukses di kemudian hari. Karena hasil tidak pernah mengkhianati proses. Karena Tuhan itu Maha Adil.

    Taruhlah begini, orang idealis tidak akan bisa bertahan di zaman seperti ini. Sing jujur ajur. Dikira Tuhan tidur? Dengan airmata bahagia dan kebanggaan sepenuh jiwa, saya menjadi saksi bahwa di negeri ini, anak-anak yang melenggang ke Olimpiade dunia sana, menjadi juaranya, adalah anak negeri ini. Anak dari keluarga biasa, tapi berkesungguhan. Pengusaha-pengusaha besar yang sukses tujuh turunan, bukan dari keluarga ningrat kawan. Tapi mereka yang tau arti berjuang dengan kejujuran. Dengan tangan mereka sendiri, berdiri di kaki mereka sendiri. Bukan hasil dari KKN bapak. Pemimpin-pemimpin hebat negeri ini, mereka lantang bukan? Karena mereka berdikari, jual mahal atas nama harga diri. Mereka sebenar-benar orang pintar dan berani.

    Dan saya memang hanya bisa mengoceh. Meluapkan marah melihat keruwetan. Dengan menuliskan ini, mungkin memang tidak banyak mempengaruhi negeri ini. Tapi semoga yang tidak banyak ini menjadi pelecut diri. If you hate it, dont do it! Ingin menjadi bagian dari kebaikan yang akan membesarkan negeri ini, sekali lagi.



0 pemerhati: