• Dan setanpun tertawa?!

    x : *diam*
    y : ayo dong mas, ini kan weekend? kemarin mas udah istirahat seharian, apa masih keberatan ngajak kami keluar? 
    x : aku capek! bla bla bla bla! *melanjut meninggi suara meluapkan kesal*
    y : *diam, kecewa*
    dan setanpun tertawa,  i win you! 

    Perhatikan, tidak ada yang berbahagia pada scene di atas melainkan setan. Itu cuma 1 dari banyak riak kehidupan rumahtangga. Seringkali yang merasa superior, merasa berhak marah meninggikan suara untuk menjelaskan keinginannya. Dan sudah pasti itu mengiris hati orang-orang yang disayanginya. Menyesal? Semoga, karena itu pertanda rasa sayang memang ada. 

    Berteriak, digunakan ketika jarak kita dengan yang kita tuju itu jauh. Namun dia dan aku hanya sepandangan mata? Ya, benar. Hati kita yang berjarak. Tanpa kita sadari, keruwetan hidup menyempitkan hati. Ruang lapang yang biasanya lengang, diisi tawa riang orang-orang terkasih, sudah terisi dengan tuntutan yang memang kita cari sendiri! Sayangnya hati tetap seluasan itu... begitu sumpeknya ditambah tuntutan kebutuhan keluarga. Bersalahkah hati? Tidak, dia seluas apa yang kita pikirkan, yang kita inginkan, yang kita perjuangkan. 

    Seandainya, 
    x : *diam*
    y : ayo dong mas, ini kan weekend? kemarin mas udah istirahat seharian, apa masih keberatan ngajak kami keluar? 
    x : *menghela nafas panjang, meredam amarah, menghampiri perempuannya, memeluknya*


    Biarkan degub saling menyapa, seringkali kata kurang mampu menautkan hati yang berjarak. Selalu kehangatan dan degub itu, cukup, bahkan sangat cukup, untuk merekatkan hati yang retak. 

    Sekiranya degub menemukan irama yang sama, apalagi sampai bisa membawa nostalgia 'sah' dahulu kala, kalimat-kalimat marah akan bermertamorfosa menjadi mutiara cinta. Tidak akan ada hati yang terluka karena menyesali amarah yang tak terbendung. Tidak akan ada hati yang terluka karena bertanya dalam heningnya, sudah berkurangkah cinta? 

    Ini, bukan pembelaan untuk kaum perempuan, juga tidak untuk menyudutkan adam. Samasekali tidak ada objek yang akan diargumentasi sebagai alasan dan bukti pembenaran di tulisan ini. Sungguh, hal serupa dengan posisi yang terbalik juga banyak terjadi. Perempuan bekerja yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah, sadar atau tidak menjadi merasa superior dibanding ibu-ibu rumah tangga. Ego atas 'aku mampu tanpa kamu' yang biasanya semakin memperlebar jarak suami istri. Tidak mengherankan bahwa gadis yang berkarir akan cenderung lebih lama memutuskan menikah. Karena versi 'the one' mereka akan jauh lebih rumit, tidak salah karena siapapun menginginkan yang terbaik untuk kebahagiaan bersama. Tapi di sisi lain, gadis yang tidak berkarir juga menemukan kebahagiaan yang sama dengan cara berbeda tanpa versi 'the one' yang muluk. Begitulah cinta, dengan banyak pengertian dan cara menemukan juga mempertahankannya. 

    Satu yang pasti, pasangan yang paling berbahagia adalah yang cintanya pada Ilahi mendasari cintanya pada kekasih. Bukan karena rupa, materi ataupun darah keturunan. Ataupun aksesori tambahan versi masing-masing yang fokusnya pada subjek kekasih. Sungguh, samasekali bukan. Wah saya termasuk yang itu loh, saya menikah karena menyukai senyumnya, selalu rindu bening matanya yang menentramkan saya. Wah saya menikah karena dia kaya, kepala keluarga memang harus kaya dunk, mau ngasih makan cinta? Hari gini. 
    Kamu,  kamu punya versi alasan lain untuk memilih tambatan hati? Apapun versinya,  semoga dalam prosesnya akan segera menemukan ujung dan pangkalnya, cinta kepadaNYA. Sehingga dalam menjalaninya pun akan penuh kasih dan sayang, karena sifat Tuhan begitu bukan? Semoga samawa, saling mendoakan ya. 



0 pemerhati: