Siang itu aku sedang santai di
sela-sela kebosanan dengan segala urusan pekerjaan. Ngobrol ngalor ngidul dengan beberapa teman. Berbagi cerita,
bertukar ide yang kerap buntu membentur kebekuan dinding birokrasi. Dan kadang
diselingi candaan nakal sekedar menghilangkan kepenatan.
Di tengah keasyikan itu datang seorang
teman, perempuan setengah baya. Dia berdiri di depan mejaku sambil menyodorkan sebuah
amplop. Secara reflek aku menolak amplop itu. Entah dengan sungguh-sungguh
menolak atau hanya sekedar basa-basi, hehehe. Dia memaksa dan bilang terima
kasih karena merasa sudah aku bantu. Aku biarkan dia meletakkan amplop itu di
atas mejaku.
Di negeri ini adalah hal yang
lumrah ketika ada orang yang memberikan sesuatu atas pelayanan yang kita berikan.
Terlepas dari hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Itu menjadi hal yang
biasa. Ya, sebuah kebiasaan yang kadang menjadi sebuah kewajiban. Sehingga tidak
jarang kita meminta imbalan atas pelayanan yang sebenarnya adalah kewajiban
kita dan hak mereka mendapatkan pelayanan itu tanpa harus membayar sepeserpun.
Setelah orang itu pergi,
datanglah seorang temanku lagi, cengar cengir lalu duduk di kursi depan mejaku.
Menyalakan rokok produk dalam negeri dan menghisapnya dalam-dalam. Dia memang
selalu mampir ke ruanganku untuk sekedar merokok karena di ruangannya sendiri
selalu diprotes teman-temannya. “Kayaknya udah lama aku lihat kamu nggak
merokok Malioboro?” Tanyaku. “Kemahalan, nggak ada uang”. Katanya.
“Tuh ada uang di depanmu, ambil aja. Tapi jangan diambil semua, sisain buat
yang lain”. aku bilang. “Ah yang bener? Emang uang siapa?. “Udah ambil aja nggak
usah banyak tanya, beli rokok sana”. Kataku meyakinkan. Ragu-ragu dia meraih
amplop itu, mengintip isinya dan mengambil selembar. “Ikhlas nih?” tanyanya. “masih
banyak tanya lagi, itu bukan urusan kamu”. Sergahku. Aku ambil sisa uang di
amplop itu kemudian ku serahkan kepada seorang teman yang dari tadi ngobrol
bersamaku. “tolong dibagi sama yang lain ya”. Pintaku.
Amplop itu mungkin nilainya tidak
besar. Atau bahkan kecil saja. Tapi sesuatu yang kecil itu selalu sukses
menggodaku. Seandainya waktu itu tidak ada orang lain di situ, mungkin amplop
itu langsung masuk ke kantong. Lumayan kan, rejeki (atau risky ya?) hahahaa. Tapi saat itu amplop itu tidak aku kantongi
sendiri. Gengsi karena ada orang lain? mungkin. Biar dikatakan dermawan? Bisa saja.
Tapi ya sudahlah, biarkan begitu saja tanpa perlu penilaian. Yang jelas aku
berterima kasih pada teman-teman yan ada di situ karena mereka sudah menjadi
tameng bagi lemahnya diriku menghadapi godaan.
“Ikhlas nih?”, pertanyaan yang sederhana saja. Tapi aku tidak pernah
bisa memberikan jawaban yang meyakinkan. Ikhlas atau tidak, aku tetap harus
melakukan sesuatu, memberikan sesuatu ketika mampu. Masih harus menunggu ikhlas
dulu? Ahh kelamaan tuh.. Ikhlas atau tidak ketika melakukan sesuatu itu sudah
membuat aku mampu membuat sebuah ruang di hati. Di mana suatu saat nanti aku
bisa meletakkan keikhlasan di sana.
Menjelang pulang, aku baru ingat
kalau harus membayar pesanan barang. Kebetulan ada teman yang istrinya punya
usaha sebagai stockist sebuah produk.
aku harus membayar pesanan itu sebelum pulang. Aku menemui temanku itu untuk
membayar pesananku. Aku membuka dompet dan menghitung isinya. Aku hanya bisa
tersenyum kecut ketika tahu ternyata uang di dompetku tidak cukup untuk
membayar pesananku. “sori bro, ini aja dulu ya, besok aku lunasi kekurangannya”.
Kataku malu-malu. Aku salut pada setan-setan yang tak pernah menyerah
menggodaku.
0 pemerhati:
Posting Komentar