• Menjadi Cahaya


    Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang berkecamuk di dalam dadaku saat ini. Sedih? Ahh.. kok melow gitu. Kecewa? Sensi banget sih. Marah? Dasar temperamental.  Atau mungkin bukan apa-apa? Tapi kalau memang bukan apa-apa kenapa kok jadi bad mood gini. Perasaan seperti itu sering terjadi ketika apa yang ku inginkan tidak tercapai. Semakin besar keinginan itu semakin besar pula resiko seperti itu yang mungkin akan muncul.
    Seiring perjalanan waktu, aku belajar menghadapi hidup yang sering kali berjalan tak sesuai harapan. Dari situ aku mulai berusaha untuk mengurangi keinginan. Aku mencoba menghapus angan-angan. Tapi aku manusia biasa. Dan selamanya akan menjadi manusia biasa. Tak mungkin aku menghilangkan semua keinginan dan angan-angan itu dengan sebersih-bersihnya. Aku berusaha realistis saja.
    Miris rasanya ketika ada seorang teman yang seorang pimpinan di sebuah lembaga sosial di daerah terpencil bertanya kepadaku. “Kapan dananya cair?”. Sudah tidak punya dana untuk kegiatan operasional. Teman-teman sudah beberapa bulan tidak gajian. Aku hanya bisa menjawab, “belum, masih diproses”. Kamu dari mana? Kataku. “Dari BPR, cari pinjaman dana buat operasional”, dia bilang dengan raut wajah lesu.
    Sebagai teman, aku hanya bisa berempati, kasihan mereka. Tapi apa cukup hanya sekedar berempati? Sama sekali tidak. Aku harus bersimpati dan lebih perduli. Aku harus berbuat sesuatu.
    Sebagai orang yang sedikit banyak terlibat dalam pencairan dana tersebut di daerah itu, aku punya kesempatan untuk sedikit membantu. Agar anak-anak bisa belajar dengan tenang. Agar teman-teman bisa menebus kendaraan yang terlanjur tergadai.
    Tapi rumitnya proses administrasi yang harus dijalani, membuat aku harus menata hati dengan lebih rapi, menguras tenaga lebih keras dan menjaga niat agar tetap kuat. Birokrasi di negeri ini memang sudah banyak perbaikan. Tapi perbaikan itu ternyata belum sejalan dengan kebutuhan rakyat. Bagaikan sebuah kendaraan, birokrasi di negeri ini jalannya lamban dan boros BBM. Belum lagi kebocoran oli di segala sisi. Membuat orang mudah terpeleset ke dalam jurang korupsi.
    Apakah aku harus merasa sedih ketika keinginanku membantu itu belum berhasil?. Apakah aku harus marah ketika melihat ada pihak yang dengn penuh semangat menghamburkan dana seenaknya?. Atau apakah aku harus merasa bersalah ketika ada seorang teman merasa terusik kenyamanannya yang karena keyakinanku akan kemampuannya mendapat tugas tambahan?. Di situlah keikhlasanku teruji. Dan karena ujian ini dari Tuhan, maka biarlah Tuhan saja yang menentukan nilaiku. Bukan yang lain.
    Ketika kita berada di dalam ruangan yang sangat gelap. Dan ketika harapan akan datangnya cahaya bertumpu pada diri kita. Ada beberapa kemungkinan bagaimana kita bisa memberi cahaya terang. Pertama, menjadi lampu LED, memberi cahaya yang putih terang tanpa panas yang kita rasakan. Kedua, sebagai lampu pijar, memberi sinar terang walau harus dengan panas meradang. Ketiga, laksana lilin, dengan cahaya yang redup meleleh, menguap dan terbakar. Atau keempat, hanya sebagai sebatang kecil kayu pinus di tangan gadis korek api, untuk menghangatkan tangannya yang mulai beku dan agar gadis kecil itu bisa melihat bayangan ibundanya tercinta yang tersenyum dan melambaikan tangan di balik cahaya yang lemah sebelum akhirnya meregang nyawa di saat batang kecil kayu pinus itu habis terbakar. 
    Aku hanya berharap, aku bisa menyiapkan diri pada titik di mana aku harus menjadi batang kecil kayu pinus di tangan sang gadis korek api walaupun hanya sekejap menerangi.


0 pemerhati: